Wanita itu memandang keluar jendela, menatap luas danau yang mengiringi laju kereta api tak lepas-lepas. Kuperhatikan sesekali, sambil menyantap cemilan yang kubawa, teman setiaku selama perjalanan dengan jarak tempuh yang cukup panjang.
Kepergian bersama kami memang tidak hanya sekali, - untuk satu keperluan- dan setiap danau itu akan terlewati, mata cantik itu kembali menatap keluar jendela tak pernah jemu.
Akhirnya, sudah kebiasaan bagiku, beberapa menit sebelum kereta cepat kami mencapai danau, aku akan berkata pada nya,“sebentar lagi danau itu lho”. Dan ia akan pindah ke kursi lain –yang memang rata-rata kosong- untuk menikmati kembali danau itu dengan senyum.. dengan sendiri.. dengan sepi..
Suatu kali demi meredam rasa penasaranku, aku membuka obrolan santai dengannya. Tentu dengan tanya apakah kemenarikan danau itu untuknya. „ Karena, danau itu ibarat barang yang tertinggal“. Aku menatapnya dengan kening berkerut, suatu simbol meminta penjelasan lebih lanjut.
„Iya,.. danau, bintang, pohon, bunga, bahkan manusia, entah sang bayi yang menangis ataupun dewasa, semua ibarat barang yang tertinggal. Tapi tak cuma sampai disitu saja alasanku. Lebih lagi, karena sebuah barang kalau tertinggal, pasti punya pemilik, bukan?. Bayangkan saja, pabila tiba-tiba satu buah bulpen tertinggal di rumahmu, apa yang akan kaulakukan?. Padahal saat itu, kau tak tahu siapa pemiliknya“. Karena aku tak menjawab cepat, ia kembali melanjutkan. „Pasti kau akan mencari pemiliknya kan?. Sayangnya, disana tak tertulis nama sang pemilik, tapi karena ia nyata dan ada disana, pasti kau yakin bahwa ia ada yang punya. Kau akan angkat telfon mu, dan bertanya kepada sejumlah teman, kira-kira milik siapa bulpen itu“ . Aku mengangguk singkat tanda setuju.
„Danau itu sangat indah, karena aku yakin ia ada disana dengan izin pemiliknya. Kau tahu ia tampak lebih bermakna, karena aku merasa, ia diciptakan untuk suatu tujuan yang akan berakhir dengan indah pula. Itulah mengapa aku sangat menganggumi danau itu maupun semua harta alam lainnya, bahkan keberagaman manusia.
Suatu waktu kau akan diberi izin oleh sang pemilik untuk menggunakan, mengagumi, menyentuh, dan memanfaatkan bulpen itu. Namun dengan satu syarat, bahwa suatu hari ia akan kembali untuk mengambilnya lagi, sebab bulpen itu bukanlah milikmu. Dan, begitupun setiap kita, juga alam, pasti akan diambil dan dihadapkan kembali kepada sang pemilik nya.“ Tuturmu mengusaikan kalimat.
„Wah, ternyata danau dan alam memberi banyak pelajaran untuk kita dengan cuma-cuma ya?“. Namun, jauh dari dugaan, ucapan ku disambut dengan raut muka tanda kurang setuju. „Salah ya?“ tanyaku.. „ Bukan salah, hanya kurang tepat. Kalaulah sang alam bisa bicara, mungkin ia akan berkata begini, .’Jangan nantikan aku akan memberi pelajaran apapun untukmu, jika kau tidak bertindak. Mulai sekarang, ambilah pelajaran itu, curilah dan manfaatkanlah hikmahnya. Aku bukanlah gerbang rahasia yang kuncinya disembunyikan. Pintuku selalu terbuka, pilihan lah yang harus kau tentukan, mau memasuki dunia hikmah ku atau tidak“.
Dan selepas ucap itu, alam akan bertasbih penuh khidmat, mendahului kita, dan mengagungkan firman-Nya, : Bismillâhir Rahmânir Rahîmn „Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemanyam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan, Masing-masing beredar menurut waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu.
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buhan berpasang-pasangan. Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan“ (Ar Ra`d ; Guruh 2-3) (Baca juga An-Nahl; Lebah 2-21, Subhanallah, dan begitu banyak ayat lagi yang menerangkan tentang alam)
„Kau tahu, kesempatan seperti yang kau dan teman-temanmu miliki, yaitu bertempat tinggal di Jerman menurutku adalah luar biasa. Setiap saat selalu ada yang dapat dijadikan alasan untuk bertasbih.
Saat perjalananmu ke kuliah atau aktivitas lain, kapan saja, dongakan lah kepalamu ke langit dan kan kautemui indahnya burung terbang berformasi, ini saja sudah satu Alhamdulillah. Saat melewati danau, kilaunya air terlebih saat bulan purnama menimpa, satu Alhamdulillah lagi. Dan saat penat melanda sehabis kuliah lewatilah taman favoritmu dan sudah kaulihat pohon-pohon berjejer rapih dan rindang, satu Alhamdulillah. Akhirnya sampailah kau di rumah, kauintip sedetik bulan sabit nan cantik tersembul di kelap malam, satu Alhamdulillah. Belum bila teman datang, dan saling bercanda riang, satu Alhamdulillah.. Bukan kah begitu?“ aku perlu waktu sebelum dapat mengangguk dalam..
„Aku hanyalah sebentar disini, tak lama lagi, aku akan kembali ke Indonesia. Dan kau tahu, jangan harap aku mampu menceritakan semua keindahan ini pada adik-adik, yang menatap alam pun mereka tak sempat, yang mereka kenal hanya bagaimana menyambung nyawa. Saat aku ceritakan kisah ini, maka mereka akan bertanya, ´di negeri dongeng manakah kau hidup?“.
Aku tak sabar untuk segera bertanya, „mengapa begitu?“ ujarku terdengar mendesak. „Gampang saja, begitu sampai cerita ku pada danau yang kita lalui, maka ia hanya akan perlu menyeretku menuju belakang „rumah“ nya, dan memaksaku melihat kali yang kotor penuh sampah lagi kelam. Saat sampai kataku pada burung-burung dengan formasi nya, ia meringis dan akan membalas lebih baik menanti hujan, agar ojek payung mereka laku. Terlebih saat aku bercerita tentang pohon dan bunga, ia akan melirikkan mata mungilnya yang lelah, pada deretan pohon trotoar yang berdiri membungkuk dengan daun tertutup debu, dan kulit tubuh yang memaksa mata membuang pandang, menatap ke depan, mencari „mangsa“ dalam jejeran mobil-mobil yang terhenti akibat lampu merah. Tapi tak hanya mereka, juga adik-adik lain, yang terlalu sibuk dengan dering sms dari handphone nya, hingga penjabaran ku pun tiada guna“
Ia berbicara sungguh tanpa emosi penuh gebu. Terlebih kesan melecehkan. Aku bertanya, „kalau begitu, apakah kau akan pesimis memandang arah hidup anak-anak itu?“ „mengapa aku harus pesimis?, bukankah kita dilatih Tuhan untuk tidak menjadi pesimis?, jangan berhati lemah, jangan cepat menyerah, berusaha dan berbuat, tak ada satu pun yang luput dari perhitungan-Nya. „Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung“ (QS. Al-Jumu’ah 10).
Kau melanjutkan,, „karunia Allah itu sangat berlipat, hukum Allah, adalah seadil-adilnya hukum. Bila aku tak sedih, karena kulihat, Rabb yang maha Cukup, memberikan kelebihan luar biasa pada anak-anak bangsa, kepada mereka yang terus mengusap peluh, ataupun yang sibuk belajar dalam ruangan kelas yang padat. Mereka semua anak bangsa yang pintar-pintar, derajatnya akan naik karena kepintaran mereka, anugerah dari Illahi. Mereka generasi yang pandai berwirausaha. Kita bersyukur memiliki anak bangsa, yang lihai dalam bidang seni dan komunikasi. Dengan kemauan yang luar biasa keras bila dihadapi dengan kerja terarah dan tidak abstrak. Anak bangsa yang memiliki iman dan budi pekerti yang luhur, yang hanya perlu asahan dan ajakan untuk jalan beriringan bersama-sama, hingga mutiara iman insyaAllah akan jelas terlihat kemilau nya. Kepada semua, tak terkecuali. Ini adalah tanda dari-Nya untuk mereka.
Kita kenal istilah Filantropi (kedermawanan). Yang dermawan, menurutku tak perlu kaya, ia hanya perlu punya hati yang bersih, hanya perlu punya keinginan dan niat ikhlas. Tak perlu beri uang, pabila sanggup sumbang keterampilan dan motivasi. Bila terus begitu, maka danau, bintang juga alam, tak lama betah bercap simbol makna tanpa “jiwa”. Akan tergerak lah menciptakan kondisi negara yang indah lagi teratur. Dan pada saatnya, ia akan menjadi simbol makna penuh cinta sebagai tanda yang nyata dari Sang Maha Kuasa.“
..” Jetzt erreichen wir Dortmund Hauptbahnhof ...“ („Sekarang sampailah kita di Stasiun Dortmund“). Sebuah suara menyampaikan pengumuman, memenuhi setiap gerbong kereta.
Ah, tak terasa telah tiba kami pada tujuan perjalanan ini, mengapa waktu tak mengizinkan aku menikmati setiap ucap lembutnya lebih lama lagi?. Seakan ia mendengar desah hatiku, ia berkata..“ Ilmu ada dimana saja dan dari siapa saja, bersihkan lah hatimu dengan dzikir. Setelah hatimu bersih, hiasilah dengan ilmu, mungkin nanti akan butuh pengorbanan dan jatuh bangun, namun bukankah, indah syurga Illahi pun tak dapat diraih mudah?, kemudian senangkanlah hatimu dengan bekerja.“
„Esok hari aku tak lagi ada di dekatmu, namun aku tahu insyaAllah kau akan lebih bijaksana dari hari ini. Pergunakanlah waktumu sebaik mungkin, seperti saat junjungan kita nabi Muhammad Saw, pernah menasehati pengikutnya yang sangat dicintainya. Dan, doakanlah aku sebagaimana aku akan mendoakanmu, sehingga do’a kita akan saling terpaut, dan salam jauhku akan terbawa angin yang mendesir pelan melewati kain jilbabmu“ . Tak terasa mataku berkaca-kaca. Aku mengangguk dan menatapnya penuh terimakasih.
Saat kutulis cerita ini pun, ia tak ada di dekatku, entah sedang tidur atau sedang berdzikir.. Ya Rabb, sungkurku menghadap-Mu malam ini. Berikanlah cinta dan kasih-Mu padanya... Amin ya Rabb al alamin
Darmstadt, 17.12.2004 (02.39)
Anggi Aulina Harahap
Tertulis untuk adik-adik negeriku; maaf, hanya ini yang baru bisa kusembahkan. Pabila tiba satu hari nan indah, semoga itu adalah saat kumampu menceritakan luar biasanya alam ini, dalam situasi dan kondisi yang akan membuatmu percaya. InsyaAllah
Untuk Bunda; Tak pernah jenuh aku belajar darimu
Untuk Sahabat baru, terimakasih telah bertanya, semoga ini dapat menjawab :)
Catatan judul: *(ter) Kesima